Home FIQIH MUAMALAH JUAL BELI BUAH DI ATAS POHON

JUAL BELI BUAH DI ATAS POHON

45

JUAL BELI BUAH DI ATAS POHON

Oleh : KH Hafidz Abdurrahman, MA

Di antara praktik muamalah yang biasa dilakukan orang adalah menggaransi buah-buahan yang masih di pohon, seperti jaminan jeruk nipis, zaitun, mentimun, anggur, kurma dan sejenisnya. Sebagian memberikan garansi zaitun selama dua atau tiga tahun, bahkan lebih. Karenanya, dia mengolah, meluruskan dan merawat pohon itu setiap tahunnya dan memakan buahnya. Faktor-faktor pemberian garansi lebih dari satu tahun adalah karena zaitun, misalnya, tidak menghasilkan buah yang baik setiap tahunnya, tapi biasanya pada tahun ini pohon itu menghasilkan buah yang lebat, maka tahun berikutnya mengalami kekurangan, karena pohon itu menumbuhkan ranting pada tahun sekarang, dan menghasilkan buah pada tahun berikutnya.

Pohon, meski telah menghasilkan buah yang baik, tetap membutuhkan perawatan dan perhatian ekstra. Dengan demikian, orang yang memberikan jaminan sekian tahun boleh mengambil uang untuk biaya perawatan agar pohon dapat berbuah lebat. Hal yang sama dengan pohon zaitun adalah jeruk nipis dan yang sejenisnya. Sebagian orang memberikan garansi pohon zaitun, jeruk nipis dan anggur, sebagaimana dia menjamin mentimun untuk masa setahun. Standar jaminan disesuaikan dengan buah yang ada di pohon tanpa melihat banyak-sedikitnya atau bagus-jeleknya buah.

Jaminan sebagai jaminan sebenarnya adalah praktik jual-beli buah yang masih di atas pohon, bukan membeli pohon atau membeli buahnya pohon selama dua, tiga tahun atau lebih. Adapun memberikan jaminan pohon selama dua tahun atau lebih itu adalah membeli buah yang tidak ada, karena memang buahnya belum ada. Dan tidak boleh menjual barang yang tidak ada, karena itu termasuk jual-beli yang mengandung unsur penipuan [gharar]. Itu hukumnya jelas haram, karena ada hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasululloh saw. melarang jual-beli kerikil dan jual-beli yang mengandung penipuan [bai’ al-ghoror], sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Karenanya menjual buah di pohon untuk beberapa tahun tidak diperbolehkan, karena termasuk gharar, mengingat penjualan buah di pohon selama dua, tiga tahun atau lebih dianggap menjual barang yang belum menjadi miliknya, dan itu tidak diperbolehkan.

Lebih dari itu, transaksi semacam ini, adalah transaksi salam yang dilarang, karenanya tidak diperbolehkan. Sebab salam itu menjual buah yang tidak ditentukan, sementara transaksi di atas itu menjual buah yang sudah ditentukan. Nabi saw. melarang salam pada buah pohon yang ditentukan. Penduduk Madinah, ketika Nabi saw. tiba di sana sudah mempraktekkan salam pada buah kurma, lalu Nabi sw. melarangnya. Dengan demikian, apa yang dilakukan oleh orang-orang yang memberikan garansi pada pohon zaitun dan jeruk nipis dari membeli buahnya selama masa dua atau tiga tahun itu hukumnya haram. Praktek ini termasuk praktek jual-beli yang oleh syara’ secara tegas dilarang.

Adapun menjamin buahnya pohon yang jelas buahnya, juga menjamin mentimun dan yang sejenisnya, itu adalah menjual buah yang masih ada di atas pohon. Jadi tidak termasuk menjual barang yang bukan menjadi hak milik penjual, karena barangnya ada padanya. Juga tidak termasuk memesan buah kurma itu sendiri. Karena ia adalah jual-beli saat itu juga, sehingga tidak termasuk salam. Karena itu, hukumnya berbeda dengan hukum memberi jaminan selama dua, tiga tahun atau lebih.

Hukum syara’ dalam praktek di atas; menjual barang yang ada dan masih di pohon itu membutuhkan rincian dan perlu dilihat buahnya. Jika buah itu sudah layak dikonsumsi, maka hukumnya boleh. Tetapi jika buah itu belum layak, maka tidak boleh. Sebab, hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir ra, berkata, “Rasululloh saw. melarang menjual buah-buahan sebelum matang”, dan hadits “Rasululloh saw. melarang menjual buah sebelum tampak kelayakannya”, juga hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, berkata, “Rasululloh saw. melarang menjual buah-buahan sebelum matang [syaqqah].

Lalu, ada yang bertanya, “Apa itu syaqqah?” Beliau menjawab, “Memerah dan menguning dan bisa dimakan.” Semua hadits di atas secara tegas melarang jual-beli buah-buahan yang masih mentah. Dari teks (manthuq) hadits tersebut bisa diambil kesimpulan tidak boleh menjual buah-buahan sebelum tampak kelayakannya, sedangkan dari pengertian (mafhum) hadits, berarti boleh menjual buah-buahan yang sudah layak (sudah masak). Dengan demikian, menjamin pohon yang sudah tampaknya buahnya seperti zaitun, jeruk tipis, kurma dan lainnya itu boleh jika sudah dapat dirasakan, dan tidak boleh kalau belum bisa dirasakan.

Semoga bermanfaat.